Surat dari Anjing Tua: Sebelum Nafasku Habis, Ada yang Ingin Aku Katakan

 🐾 Surat dari Anjing Tua: Sebelum Nafasku Habis, Ada yang Ingin Aku Katakan



---

🐕 Pendahuluan: Jika Aku Bisa Menulis, Ini Surat Terakhirku

Namaku Milo.
Aku tak muda lagi. Bulu-buluku memutih, langkahku melambat, dan mataku tak sejernih dulu.

Tapi hari ini, sebelum waktuku habis, izinkan aku menulis.
Bukan untuk minta makanan, bukan untuk jalan-jalan.
Tapi untuk berbicara tentang hal yang selama ini kami—anjing—pendam diam-diam.


---

BAB 1: Aku Tidak Takut Mati, Tapi Takut Kamu Tak Siap Kehilangan

Kami tidak mengenal kata "kematian" seperti kalian.
Tapi kami tahu perpisahan.
Kami tahu saat tubuh kami tak lagi kuat berdiri.
Kami tahu saat kamu mulai menghindari tatapan kami, karena takut kenyataan itu.

Bukan kematian yang menyakitkan bagi kami.
Tapi melihat kamu menolak menerima bahwa aku akan pergi.


---

BAB 2: Maaf Kalau Aku Tak Lagi Seperti Dulu

Aku tak bisa lari seperti dulu.
Tidak bisa naik ke kasur tanpa kamu bantu.
Kadang kencingku bocor. Kadang aku terdiam terlalu lama.

Tapi jangan benci tubuhku yang menua.
Peluk aku meski aku bau.
Karena aku pernah mencintaimu tanpa syarat, bahkan saat kamu lupa makaniku.


---

BAB 3: Kamu Adalah Seluruh Duniaku

Kamu mungkin punya:

Teman

Pekerjaan

Gadget

Hobi


Aku hanya punya kamu.

Saat kamu pergi 8 jam kerja, aku duduk menunggumu.
Aku tak tahu waktu. Aku hanya tahu: aku tak ingin kamu hilang.


---

BAB 4: Jangan Abaikan Tanda-Tanda Tubuhku

Jika aku:

Tak mau makan

Susah berdiri

Menatapmu lama


Itu bukan minta jajan. Itu kode terakhirku.

Aku ingin kamu tahu:

> “Aku akan pergi, tapi aku ingin pergi dalam pelukanmu.”




---

BAB 5: Ingat Waktu Kita Dulu?

Ingat saat:

Kita pertama kali main bola di taman?

Kamu tidur di lantai karena aku takut badai?

Kamu menangis dan aku mengelus pipimu dengan lidah?


Itulah hidup bagiku.
Bukan jumlah tahun, tapi jumlah kenangan.


---

BAB 6: Tolong Jangan Tinggalkan Aku di Meja Dokter Sendirian

Saat waktunya tiba—entah di klinik atau di rumah—jangan larikan diri.

Ya, kamu takut kehilangan.
Tapi aku takut pergi tanpa kamu.

Berikan aku hadiah terakhir:

> “Kehadiranmu saat nafasku yang terakhir.”




---

BAB 7: Aku Telah Memberikan Semuanya

Aku tak punya uang.
Tak punya warisan.

Tapi aku:

Menjaga rumah

Membuatmu tertawa

Menyembuhkan hatimu yang patah

Menunggu tanpa keluhan

Memaafkan tanpa syarat


Bukankah itu lebih berharga dari harta?


---

BAB 8: Jangan Ganti Aku Terlalu Cepat

Setelah aku pergi, jangan langsung beli anjing baru untuk menambal hatimu.

Aku bukan barang. Aku kenangan.

Berikan dirimu waktu.
Tangisi aku.
Kenang aku.
Dan jika suatu saat kamu siap, biarkan cinta yang sama lahir kembali.


---

BAB 9: Terima Kasih Telah Mencintaiku

Mungkin kamu merasa bersalah:

“Aku kurang main dengannya”

“Aku sering marah”

“Aku tidak cukup memberinya waktu”


Tapi bagiku, kamu sempurna.
Kamu adalah hidupku.
Dan aku akan pergi dengan hati penuh cinta.


---

BAB 10: Aku Tidak Benar-Benar Pergi

Jika suatu hari kamu merasa:

Ada angin menyentuh pipimu

Ada suara langkah kecil saat malam

Atau tiba-tiba kamu ingin menangis tanpa sebab


Itu aku.
Aku hadir.
Aku mengawasi.

> Karena cinta seperti ini tidak pernah benar-benar mati.




---

🐾 Epilog: Anjing Tidak Menulis Buku, Tapi Kami Menulis di Hatimu

Kami tidak membuat puisi.
Tidak muncul di Wikipedia.
Tidak trending.

Tapi kami hidup dalam kenangan paling murni.
Karena kami tidak pernah berpura-pura.
Kami hanya mencintai. Sepenuhnya. Sampai akhir.


---

Comments

Popular posts from this blog

"Aku Tidak Minta Dilahirkan Mewah, Hanya Dimengerti": Kisah Seekor Anjing Pinggiran Kota

Mengapa Manusia Butuh Terapi Lebih dari Anjing?

Anjing Juga Punya Pikiran: Refleksi atas Dunia yang Sibuk Tapi Tak Pernah Hadir